Dalam pagu anggaran APBN-P 2015, pemerintah menetapkan pinjaman alias utang luar negeri tahun ini sebesar Rp 48,6 triliun. Dana tersebut digunakan untuk menutup defisit anggaran yang semula ditetapkan sebesar 1,9 persen.
Defisit anggaran kemungkinan melebar menjadi 2,2 persen. Pemerintah mencari jalan pintas dengan menambah utang baru. Pemerintah menambah utang dengan meminjam USD 4,2 miliar atau setara dengan Rp 60,9 triliun dari Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB). Pinjaman multilateral ini akan digunakan untuk menutup defisit anggaran yang semakin melebar.
"Kami memilih sumber dari asing karena pasar masih fluktuatif dan pertumbuhan Indonesia sedang melambat," ucap pejabat Kementerian Keuangan, Scenaider Siahaan seperti dilansir reuters, Selasa (22/9).
Selain itu, pemerintahan Jokowi-JK juga akan mengeluarkan obligasi senilai Rp 500 triliun pada 2016 mendatang. Sebanyak 30 persen dana ini akan diambil dari asing.
Keputusan ini bertolak belakang dengan ucapan Jokowi yang mengkritik keras keberadaan Bank Dunia, IMF dan ADB.
Keputusan pemerintah menambah utang dari Bank Dunia sangat bertolak belakang dengan kejadian April lalu saat peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA). Belum lepas dari ingatan kita saat Presiden Joko Widodo bersuara lantang mengkritik Bank Dunia. Jokowi mengkritik rumitnya pinjaman dari Bank Dunia dan dia menolak diatur-atur oleh lembaga internasional yang bermarkas di Amerika Serikat itu.
Saat peringatan KAA ke-60, Jokowi mengkritik keras keberadaan lembaga keuangan dunia yang tidak bisa lagi diandalkan untuk menyelesaikan masalah perekonomian bangsa.
"Ada pandangan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF, dan ADB. Itu adalah pandangan yang usang, yang perlu dibuang," ucap Jokowi.
Di hadapan delegasi negara-negara Asia Afrika, Jokowi mengajak membangun kekuatan ekonomi baru dan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap lembaga keuangan internasional.
Kritikan itu tidak membuat hubungan mesra Indonesia dan Bank Dunia menjadi renggang.
Justru sebaliknya, tak berselang lama setelah kritik itu, Presiden Joko Widodo menerima delegasi atau Bank Dunia di Istana Merdeka. Dalam pertemuan itu, Presiden Kelompok Bank Dunia Dr Jim Yong Kim terang-terangan menawarkan pinjaman utang hingga USD 11 miliar.
"Kami ingin mewujudkan salah satu komitmen pendanaan kami yang terbesar di dunia untuk Indonesia melalui kantor perwakilan Jakarta," jelas Kim.
Dari rencana pinjaman utang sebesar USD 11 miliar, USD 8 miliar berasal dari Bank Dunia (International Bank for Reconstruction and Development atau IBRD), dan USD 3 miliar dari International Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA).
"Kami ingin mempermudah negara-negara anggota untuk memperoleh manfaat dari kelebihan kami miliki, pengalaman kami yang banyak dalam bidang pembangunan, dipadu dengan dukungan finansial jangka panjang," jelasnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per 2014 Indonesia masih memiliki utang ke Bank Dunia sebesar Rp 9,2 triliun.
Defisit anggaran kemungkinan melebar menjadi 2,2 persen. Pemerintah mencari jalan pintas dengan menambah utang baru. Pemerintah menambah utang dengan meminjam USD 4,2 miliar atau setara dengan Rp 60,9 triliun dari Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB). Pinjaman multilateral ini akan digunakan untuk menutup defisit anggaran yang semakin melebar.
"Kami memilih sumber dari asing karena pasar masih fluktuatif dan pertumbuhan Indonesia sedang melambat," ucap pejabat Kementerian Keuangan, Scenaider Siahaan seperti dilansir reuters, Selasa (22/9).
Selain itu, pemerintahan Jokowi-JK juga akan mengeluarkan obligasi senilai Rp 500 triliun pada 2016 mendatang. Sebanyak 30 persen dana ini akan diambil dari asing.
Keputusan ini bertolak belakang dengan ucapan Jokowi yang mengkritik keras keberadaan Bank Dunia, IMF dan ADB.
Keputusan pemerintah menambah utang dari Bank Dunia sangat bertolak belakang dengan kejadian April lalu saat peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA). Belum lepas dari ingatan kita saat Presiden Joko Widodo bersuara lantang mengkritik Bank Dunia. Jokowi mengkritik rumitnya pinjaman dari Bank Dunia dan dia menolak diatur-atur oleh lembaga internasional yang bermarkas di Amerika Serikat itu.
Saat peringatan KAA ke-60, Jokowi mengkritik keras keberadaan lembaga keuangan dunia yang tidak bisa lagi diandalkan untuk menyelesaikan masalah perekonomian bangsa.
"Ada pandangan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF, dan ADB. Itu adalah pandangan yang usang, yang perlu dibuang," ucap Jokowi.
Di hadapan delegasi negara-negara Asia Afrika, Jokowi mengajak membangun kekuatan ekonomi baru dan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap lembaga keuangan internasional.
Kritikan itu tidak membuat hubungan mesra Indonesia dan Bank Dunia menjadi renggang.
Justru sebaliknya, tak berselang lama setelah kritik itu, Presiden Joko Widodo menerima delegasi atau Bank Dunia di Istana Merdeka. Dalam pertemuan itu, Presiden Kelompok Bank Dunia Dr Jim Yong Kim terang-terangan menawarkan pinjaman utang hingga USD 11 miliar.
"Kami ingin mewujudkan salah satu komitmen pendanaan kami yang terbesar di dunia untuk Indonesia melalui kantor perwakilan Jakarta," jelas Kim.
Dari rencana pinjaman utang sebesar USD 11 miliar, USD 8 miliar berasal dari Bank Dunia (International Bank for Reconstruction and Development atau IBRD), dan USD 3 miliar dari International Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA).
"Kami ingin mempermudah negara-negara anggota untuk memperoleh manfaat dari kelebihan kami miliki, pengalaman kami yang banyak dalam bidang pembangunan, dipadu dengan dukungan finansial jangka panjang," jelasnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per 2014 Indonesia masih memiliki utang ke Bank Dunia sebesar Rp 9,2 triliun.
source by merdeka.com
pic by google