Federasi Sepakbola Italia (FIGC) memutuskan bahwa sistem co-ownership player akan dihapuskan per bursa transfer musim panas 2015. Alasannya, sistem ini dinilai terlalu rumit bagi sepakbola di luar Italia.
Hal itu dikatakan langsung Giancarlo Abete, presiden FIGC, pada Mei lalu. "Mulai bursa transfer musim depan, sistem kepemilikan bersama dalam kontrak pemain akan dihapuskan," ujar Abete lewat situs resmi FIGC (www.figc.it). "Hal ini menjadi persoalan dan memunculkan opini publik karena tak dilakukan oleh negara-negara Eropa lain."
Keputusan ini mengundang kritik dari banyak klub Italia, khususnya tim-tim dari kasta menengah ke bawah. Mereka berpendapat bahwa sistem ini justru memiliki lebih banyak manfaat bagi klub-klub Italia.
Sebaliknya, jika sistem ini dihapuskan, eksistensi klub-klub Italia justru akan terancam. Karena banyak klub Italia yang bisa bertahan, baik secara finansial maupun secara prestasi (bisa bertahan di Serie A atau promosi ke Serie A), dengan mengandalkan pemain co-ownership atau compartecipazione dalam bahasa Italia. Maka tak heran di musim terakhir berlakunya sistem ini terdapat 164 pemain yang masih terikat dengan co-ownership.
Keputusan ini cukup aneh memang. Sistem co-ownership sejatinya tak pernah dianggap suatu hal yang merugikan bagi klub-klub Italia. Beberapa kasus di bawah ini seharusnya menjadi pertimbangan bahwa sistem ini sepatutnya tak dihapuskan.
Lahirnya Co-ownership di Italia
Sistem co-ownership player di Italia sendiri pertama kali digunakan pada 1959. Menurut situs ESPN FC, Prato dan Fiorentina menjadi tim pertama yang mempraktikkan sistem ini.
Hal ini bermula saat Prato promosi ke Serie B pada musim 1959-1960. Untuk memperkuat timnya, Prato mengincar Lucio Dell’Angelo, seorang pemain tengah, yang saat terikat kontrak bersama Fiorentina.
Namun proses negoisasi transfer ini berlangsung alot. Nilai transfer yang diajukan Prato dinilai terlalu rendah. Maklum, sebagai tim promosi, tentunya mereka perlu menghemat biaya, juga tak punya banyak uang. Proses negoisiasi ini pun akhirnya berlarut-larut.
Ketika Prato hampir menyerah, muncullah seorang mediator bernama Giacchetti yang memiliki solusi untuk persoalan ini. Ia bertanya pada kedua belah pihak, "Kenapa tak dimilikinya secara bersama?" Prato dan Fiorentina pun kemudian menjalin kesepekatan co-ownership yang pertama dalam sejarah sepakbola Italia.
Sistem ini semakin populer setelah apa yang terjadi pada 1976. Saat itu, Juventus menjual setengah kepemilikan pemain andalannya, Paolo Rossi, pada klub Serie B, Lanerossi Vicenza. Bersama Vicenza, Rossi menemukan performa terbaiknya. Ia mencetak 45 gol dan mengantarkan Vicenza promosi ke Serie A yang kemudian menjadi runner-up di tahun pertamanya di Serie A.
Co-ownership yang berdasarkan peraturan berlaku hanya berdurasi dua tahun ini menghadirkan situasi pelik pada awal musim 1978-1979. Baik Vicenza maupun Juventus harus melakukan 'lelang buta' untuk menentukan nasib Rossi. Lelang buta ini mewajibkan kedua tim untuk memberikan penawaran tanpa mengetahui tawaran tim lainnya.
Vicenza memenangi lelang ini. Sang pemilik klub, Giuseppe Farina, menghargai Rossi dengan 2,6 milyar lira, sedangkan Juve hanya memberikan harga 875 juta lira. Farina memang kadung jatuh hati pada permainan Rossi. Ia menganalogikan Rossi sebagai Mona Lisa dari permainan indah yang ditampilkan Vicenza saat itu.
Namun, nilai transfer yang kala itu menjadi rekor transfer Serie A itu berbuah blunder. Karena pada musim berikutnya, Vicenza dan Rossi bermain buruk. Bahkan di akhir musim, mereka harus rela terdegradasi ke Serie B.
Keuntungan Nyata dari Co-ownership
Saat Sebastian Giovinco minim kesempatan bermain di Juventus, Parma membeli setengah kepemilikan pemain berjuluk 'Atomic Ant' itu pada musim 2010-2011. Parma mengeluarkan biaya sebesar tiga juta euro untuk bisa menggunakan jasa Giovinco menggunakan sistem co-ownership.
Dan tanpa disangka, Giovinco bermain gemilang selama dua musim membela Parma. Ia mencetak 23 gol dan sejumlah assist dari 70 penampilannya. Karena penampilannya yang impresif ini, banderol Giovinco pun mengalami kenaikan.
Maka tak heran ketika 'lelang buta' dilakukan, Juventus berani menghargai Giovinco sebesar 11 juta euro. Karena tawarannya lebih tinggi dari tawaran yang diberikan Parma (tawaran Parma undisclosed), Juve pun akhirnya kembali memiliki kepemilikan penuh atas Giovinco.
Dari kasus di atas. Kita dapat melihat bagaimana co-ownership ini menguntungkan kedua belah pihak. Bagi Parma, Giovinco memberikan dua keuntungan.
Pertama, Parma mendapatkan kontibusi maksimal atas permainan Giovinco. Kedua, Parma mendapatkan keuntungan dari pembelian kembali Giovinco (beli 3 juta euro, terjual seharga 11 juta euro). Keuntungan ini jelas tak didapatkan jika hanya meminjam pemain atau loan.
Bagaimana dengan Juventus? Secara finansial mungkin mereka merugi. Mereka harus rela membayar mahal untuk mendapatkan kembali Giovinco. Tapi harga mahal itu setimpal dengan apa yang bisa ditawarkan Giovinco di kemudian hari.
Giovinco yang tak berkembang saat bersama Juventus, mendapatkan banyak kesempatan bermain bersama Parma. Dan dengan banyaknya kesempatan bermain, Giovinco mampu mengeluarkan potensi yang ada dalam dirinya. Buktinya, Giovinco berhasil mencicipi seragam tim nasional Italia karena dampak dari performa ciamiknya bersama Parma.
Itu artinya, Juventus telah mendapatkan kembali Giovinco dengan kualitas yang telah meningkat. Bayangkan jika Giovinco tetap di Juve dan tak diberi kesempatan main yang banyak karena kalah bersaing, mungkin Giovinco tak akan menjadi seperti Giovinco saat ini.
Meskipun ketika kembali ke Juve performa Giovinco kembali menurun, setidaknya Giovinco masih menjadi langganan tim nasional Italia. Itu membuktikan bahwa pemain yang saat ini telah menjadi pemain berkualitas melalui sistem co-ownership ini.
Giovinco jelas hanya satu dari sekian banyak pemain muda yang berhasil menemukan performa terbaiknya lewat sistem co-ownership.
Nama-nama seperti Claudio Marchisio, Domenico Criscito, Ignazio Abate, Stephan El Sharaawy, Ciro Immobile, dan yang terbaru Simone Zaza, merupakan sedikit contoh pemain yang menemukan performa terbaiknya lalu mendapatkan kesempatan bermain di tim nasional Italia lewat sistem co-ownership.
Investasi
Co-ownership pun bisa menjadi lahan investasi bagi klub-klub Italia. Dan investasi adalah hal yang membuat co-ownership lebih menguntungkan dari loan atau peminjaman pemain yang lebih populer di luar Italia.
Seperti yang dilakukan Juventus misalnya. 'Si Nyonya Besar' selalu hanya membeli setengah kepemilikan pemain muda yang memiliki masa depan menjanjikan. Jika biasanya seorang pemain dibeli untuk memperkuat tim, Juve justru membiarkan pemain yang dibelinya itu tetap bersama timnya.
Hal ini dilakukan dengan beberapa tujuan. Pertama, untuk memagari si pemain agar tak direkrut oleh tim lain. Ketika sebuah klub tertarik pada seorang pemain dengan status co-ownership, klub tersebut akan mengajukan tawaran ke kedua klub pemilik pemain tersebut. Jika satu dari dua pemilik pemain menerima tawaran tersebut, klub peminat hanya mengambil alih setengah kepemilikan si pemain.
Sebagai contoh, Ciro Immobile yang merupakan pemain binaan Juventus dimiliki oleh Juventus dan Torino dan bermain untuk Torino. Jika Dortmund berminat pada Immobile, maka Dortmund diwajibkan mengajukan tawaran pada Juve dan Torino. Jika keduanya menolak, maka transfer tak akan terjadi. Tapi jika Torino menerima tawaran Dortmund sedangkan Juve menolak, maka Dortmund hanya akan mengambil alih kepemilikan Immobile dari Torino.
Sehingga jika ini terjadi, Immobile akan bermain untuk Dortmund, tapi Juventus tetap masih memiliki setengah kepemilikannya. Berbeda jika Juventus yang menerima tawaran Dortmund dan Torino menolak, Dortmund hanya akan mengakuisisi kepemilikan Immobile dari Juventus, sementara Immobile tetap bermain untuk Torino.
Kedua, co-ownership pun bisa diibaratkan sebuah ladang pertanian. Setelah melindungi sang pemain dari tawaran transfer dari klub lain, klub tersebut diharapkan bisa 'memanen' sang pemain ketika kualitas pemain tersebut telah sesuai dengan yang diharapkan.
Konsep ini kurang lebih sama dengan konsep loan player. Hanya saja, jika loan player adalah meminjam atau meminjamkan pemain, maka co-ownership adalah meminjamkan sambil menitipkan pemain.
Ketiga, co-ownership pun bisa diibaratkan sebagai trial bagi seorang pemain apakah ia layak atau tidak bermain di tim tersebut. Trial di sini bukanlah trial yang hanya diuji beberapa pertandingan, tapi duji selama satu musim, bahkan dua musim.
Jika dalam satu musim pemain ini bermain bagus, maka pemain ini akan dipermanenkan. Jika tidak, maka pemain tersebut akan kembali ditawarkan pada klub yang memiliki setengah kepemilikannya.
Seperti kasus Ishak Belfodil dan Inter Milan. Inter membeli setengah kepemilikan Belfodil dari Parma untuk memperkuat tim utama Inter. Namun karena performa Belfodil tak sesuai harapan, Inter pun kembali menawari Parma untuk membeli kembali kepemilikan Belfodil pada akhir musim. Parma menyetujuinya, Belfodil pun akhirnya kembali ke Parma di musim berikutnya.
Alasan FIGC Menghapus Co-ownership
Seperti yang diungkapkan pada paragraf pembuka, alasan utama FIGC menghapus sistem ini adalah untuk menyesuaikan peraturan transfer di Italia dengan peraturan di negara lain (selain Italia, hanya Portugal yang memberlakukan sistem kepemilikan bersama ini).
Beberapa klub luar Italia memang pernah menemui masalah ketika mencoba merekrut pemain dengan status kepemilikan bersama. Misalnya yang terbaru ketika Dortmund hendak merekrut Ciro Immobile yang dimiliki Torino dan Juventus.
Ketika Torino sebagai klub di mana Immobile bermain mendapat tawaran dari Dortmund, Torino terlebih dahulu berkonsultasi dengan Juventus untuk mempermudah proses negoisasi dengan Dortmund di kemudian hari (agar Dortmund bisa memiliki kepemilikan penuh Immobile). Torino dan Juve menentukan berapa banderol yang pas untuk Immobile yang saat itu berstatus capocanonieri atau pencetak gol terbanyak Serie A.
Torino menilai 18 juta euro cukup layak untuk Immobile, dengan asumsi nantinya Torino dan Juve akan mendapatkan masing-masing 9 juta euro. Tapi Juve merasa Immobile bisa dihargai hingga 25 juta euro.
Setelah proses negoisasi yang panjang antara keduanya, 19 juta euro adalah harga yang disepakati keduanya perihal banderol Immobile. Barulah Dortmund memberikan mengajukan tawaran pada Torino.
Proses panjang dan rumit seperti itu lah yang ingin dihindari FIGC. FIGC berharap dengan dihapuskannya sistem co-ownership di Italia akan lebih menarik klub luar Italia untuk merekrut pemain-pemain dari liga Italia. Ingin menumbuhkan sektor ekonomi klub Italia tampaknya menjadi incaran Abete dalam keputusan penghapusan sistem co-ownership ini.
Ada baiknya memang. Tapi jika melihat dampak yang telah terjadi dari pemberlakuan co-ownership bagi klub-klub Italia, keputusan ini justru bisa menjadi blunder dan memakan korban, khususnya bagi klub medioker. Mereka akan kesulitan untuk mendapatkan pemain berkualitas. Atau mereka pun menjadi tak bisa berinvestasi karena harus membeli pemain secara permanen atau meminjam pemain yang pada akhir musim akan otomatis kembali ke klub pemiliknya.
Kemungkinan terburuknya akan banyak klub yang tak bisa bersaing dan hanya berkutat di papan bawah atau divisi bawah liga Italia karena tak dapat bersaing dengan pemain seadanya. Bukankah klub-klub Italia saat ini sedang mengalami krisis finasial?
Kesimpulan
Dari sini kita melihat bahwa dengan memiliki setengah kepemilikan seorang pemain, sebuah klub memiliki wewenang untuk menentukan masa depan pemain tersebut. Hal ini tentunya cukup menjanjikan dari segi bisnis.
Memang, pada kenyataannya ada beberapa pemain yang tak sukses kala manjadi co-ownership player. Meskipun begitu, tak sedikit pula keuntungan yang diterima baik klub maupun pemain melalui adanya sistem ini. Contoh di atas adalah bukti bahwa co-ownership telah menjadi bagian dari sepakbola Italia.
Tapi sayangnya, musim ini adalah musim terakhir eksistensi co-ownership di Italia. Meski Giancarlo Abete yang membuat keputusan ini sudah tak lagi menjadi presiden FIGC, belum ada tanda-tanda penghapusan sistem co-ownership ini akan dibatalkan. Itu artinya, co-ownership di Italia mungkin benar-benar hanya akan menjadi sebuah cerita.
*ditulis oleh @ardynshufi dari @panditfootball