Kampanye dan Pencoblosan presiden telah berlangsung dengan semarak di berbagai daerah. Mulai terlihat gejala rasionalisasi politik di masyarakat. Mereka tak lagi bersikap fanatik buta.
Sayang sekali, di tengah fenomena menjanjikan itu ternyata tidak berkembang kontestasi gagasan brilian dan otentik. Publik disodori wacana apologetik dan cenderung repetisi ahistorik. Salah satunya gagasan "Revolusi Mental" yang pernah disodorkan salah seorang calon presiden, kini tak dielaborasi sama sekali.
Coba simak pembelaan Donny Gahral Ardian (Kompas, 28 Mei 2014) atas proposal Revolusi Mental yang ditawarkan Joko Widodo. Donny memulai dengan kritik atas visi capres yang berbasis data kuantitatif dihadapkan dengan kehampaan basis ideologi. Anehnya, Donny tidak memaparkan bahwa analisis ideologi, teknokrasi, birokrasi, dan implementasi dari sebuah gagasan memang berbeda dalam tataran pembahasan.
Ada pencetus ide yang kuat menetapkan fondasi nilai, tapi lemah menjabarkan bagaimana nilai itu diterapkan dalam struktur kekuasan dan kepentingan masyarakat beragam. Ada lagi, pengusul wacana yang mempesona dalam presentasi data dan menggambarkan skenario masa depan secara meyakinkan, namun tanpa pemihakan jelas, seperti disinggung Donny.
Lebih fatal lagi, Donny melakukan generalisasi kondisi elite sebagai sikap rakyat atau bangsa yang dibungkus dengan sebutan "kita". "Mental kuli sulit dilepaskan dari bawah sadar kita sebagai bangsa; kita takut mandiri, kita lebih menikmati ketergantungan; kita memiliki kewenangan, tapi takut menggunakannya".
Padahal, yang nyata bermasalah adalah elite pemimpin bukan massa rakyat. "Tanpanya (revolusi mental), republik ini akan kembali jatuh ke tangan pemimpin yang salah urus. Pemimpin yang mengurus republik degan mentalitas "tangan di bawah". Jelas yang bermentalitas pengemis, makelar atau kuli adalah elite pemimpin. Mengapa rakyat yang diomeli dan harus diubah mentalitasnyà ?
Kegalauan Pribadi
Gagasan Jokowi (Kompas, 10 Mei 2014) yang dibela Donny sang filosof, tak terlalu istimewa. Ide Jokowi bermula dari kegalauan pribadi, menyaksikan pertumbuhan ekonomi nasional yang cukup tinggi diselingi keresahan masyarakat.
Berbeda dengan Donny, Jokowi tidak terbiasa berpikir dialektik, hubungan antar variabel yang terlihat paradoksal. Sudah cukup banyak teori yang membahas kemajuan ekonomi diikuti dengan meluasnya partisipasi akibat bangkitnya kelas menengah terdidik dan relatif sejahtera. Mereka memiliki keinginan dan kepentingan yang tak selalu dapat dipenuhi oleh sistem politik dan ekonomi yang berkuasa. Disamping itu, ada kelompok masyarakat yang terpinggirkan atau tertinggal di belakà ng gerbong pertumbuhan. Akibatnya, muncul protes dan keresahan publik.
Jokowi tidak menyebut secara spesifik keresahan segmen masyarakat mana yang patut dipedulikan? Jika demonstrasi buruh, protes mahasiswa atau tuntutan kaum profesional yang membuat cemas, kita justru harus prihatin dengan kegalauan Jokowi. Apakah ia takut dengan kritik dan kontrol sosial (sebuah konsekuensi dari kemajuan ekonomi), ataukah ia menghendaki stabilitas dan monotoni kehidupan masyarakat?
Menurut Jokowi, reformasi baru sebatas perombakan kelembagaan, belum menyentuh perubahan paradigma, mindset atau budaya politik. Agar perubahan benar-benar bermakna sesuai cita-cita Proklamasi 1945, maka perlu dilakukan revolusi mental. Jokowi tak menyebut secara terus terang mentalitas siapa yang perlu dirombak secara mendasar.
Namun, dengan menimpakan kesalahan pada rezim Orde Baru, Jokowi merinci tradisi dan budaya yang tumbuh subur hingga kini: korupsi, intoleransi, kerakusan, ingin menang sendiri, kekerasan, pelecehan hukum dan oportunisme. Sangat menarik, Jokowi mengkritik paham liberalisme (sebagaimana Donny mencerca demokrasi liberal) yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Padahal, banyak pendukungnya berharap Jokowi membawa kebebasan substansial, yang selama ini dinilai semu.
Pengertian revolusi mental Jokowi dapat digarisbawahi sebagai "terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang". Revolusi macam itu yang menuntut komitmen pemimpin dan pengorbanan masyarakat. Kita teringat dengan Revolusi Kebudayaan Mao Tse Tung di China (1966-1976). Jokowi tidak menyebut contoh, Donny juga tidak membahasnya. Revolusi mental baru sebatas prawacana dengan menumpang gagasan Soekarno soal Trisakti.
Jokowi menghendaki revolusi mental sebagai gerakan nasional, mulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan kerja hingga lingkungan kota dan negara. Jokowi menyakinkan publik bahwa ia sudah memulai revolusi mental saat menjadi Walikota Surakarta (2005-2012) dan Gubernur DKI Jakarta (2012). Namun, publik mendapat informasi yang berbeda, misalnya dari Haji Sukiyat (pemilik bengkel yang memfasilitasi perakitan mobil Esemka di Solo) betapa Jokowi tak menghargai profesionalisme atau dari mantan Wagub DKI Jakarta Prijanto yang membeberkan Jokowi tidak melakukan perubahan fundamental atas kultur birokrasi Pemda.
Mental Siapa?
Revolusi mental diprioritaskan untuk siapa? Pertanyaan fundamental itu harus dijawab dulu, agar tak mengkambinghitamkan rakyat. Pemikiran Jokowi tak orisinal, sebagaimana kritik atas dugaan plagiarisme artikel Romo Benny Susetyo (Seputar Indonesia, 10 Mei 2014).
Namun, penulis menemukan fakta mengejutkan bahwa ide Revolusi Mental pernah dilontarkan di Malaysia pada 1971 oleh Pergerakan Pemuda UMNO. Pimpinan Pemuda UMNO, Senu Abdul Rahman menyatakan buku kumpulan esai yang diterbitkannya merupakan: "Sebuah panduan untuk semua rakyat Malaysia, untuk pemikiran dan tindakan mereka, agar rakyat dapat memenuhi tujuan pemerintahan baru di era baru."
Pemuda UMNO sering mengutip pandangan Tun Abdul Razak (1970) sebagai salah seorang Pendiri Bangsa: "Era modern adalah sebuah perlombaan. Mereka yang cepat berpikir dan sigap bertindak pasti akan menang. Sebaliknya, mereka yang diam, terjebak oleh cara hidup dan berpikir kolot, akan kalah dalam perlombaan."
Penulis tak tahu, apakah Jokowi atau tim pemikirnya sempat membaca dokumen dari negeri jiran itu? Jika belum sempat baca, maka referensinya masih terbatas. Jika sudah membaca dan menyetujui kerangka berpikirnya, maka patut diajukan kritik sebagaimana kritik Syed Naquib Alatas atas ide UMNO yang berasumsi stereotipe keterbelakangan rakyat Malaysia. Bukan rakyat, tapi para elite yang harus diubah konstruksi mentalnya lebih dulu.
Budaya korupsi, misalnya, berpangkal dari mentalitas korup para elite. Ikan busuk dari kepala, bukan ekornya, begitu pameo. Contoh aktual elite KPK (Abraham Samad) yang tak mampu mengontrol ambisi kekuasaannya, sehingga membuat Pimpinan KPK lain jadi serba kikuk. Sayang sekali Jokowi serta beberapa petinggi PDIP ikut bermain-main (istilah bursa: menggoreng) kemungkinan oknum Pimpinan KPK menjadi cawapres pendamping Jokowi.
Untung akhirnya AS tak ditunjuk selaku Cawapres. Bagaimana rakyat bisa percaya dengan elite yang tak mampu mengarahkan sekretaris pribadinya dan tak mau transparan (menyerahkan handphone saat sidang etika)? Padahal, KPK menyita semua alat bukti terkait dugaan tindak pidana. Meskipun AS masih digadang-gadang sebagai Jaksa Agung atau Menhukham pada kabinet mendatang. Sebuah contoh kekeliruan mental.
Generasi muda Indonesia menyadari potensi (kekuatan/kelemahan) diri dan siap melakukan "revolusi mental" secara berkelanjutan (self improvement). Tapi, kita perlu mengawasi para elite: apakah mereka bersungguh-sungguh melakukan perubahan di segala aspek yang pada akhirnya membawa revolusi struktural (sosial-ekonomi). Jika tidak, maka hanya ada satu kata: lawan segala kepalsuan!
by M Idrus via Islamedia.co
pic via indopos