Merokok dengan menggunakan tembakau yang dibakar kini dianggap sebagai cara merokok konvensional. Kemudian muncul rokok elektronik yang mulai dikenal sejak 2008. Rokok elektronik menggunakan baterai bekerja dengan cara memanaskan cairan di dalam tabung atau vaping.
Cairan mengandung nikotin bercampur dengan zat kimia propylene glycol dan glyceryn, dengan aneka rasa, semisal permen karet dan buah-buahan. Cara kerjanya, baterai memasok tenaga untuk memantik pembakaran zat cair aneka rasa kemudian uap keluar. Hasil pembakaran itulah yang diisap perokok sehingga nikotin masuk ke dalam tubuh tanpa memunculkan asap, melainkan uap.
Belakangan pro-kontra soal dampak rokok elektronik terhadap kesehatan semakin banyak. Administrator makanan dan obat-obatan Amerika Serikat (seperti BPOM di Indonesia) akan memperketat aturan soal rokok elektronik, seperti pada rokok kretek, cerutu, dan pipa tembakau. Mulai 8 Agustus 2016, rokok elektronik dilarang dijual kepada mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
Menurut penjelasan seorang ahli kesehatan, Stanton Glantz, kepada Live Science, mengisap rokok elektronik memang tidak sebahaya rokok tembakau. Namun bukan berarti alat ini aman digunakan dibanding merokok biasa. Menurut Glantz, kebiasan merokok elektronik tidak membuat orang ingin berhenti merokok, melainkan sulit berhenti mengisap rokok konvensional. Akibatnya, hampir semua pengisap rokok elektronik tetap merokok biasa.
Lagipula, bagaimanapun caranya nikotin diisap, tetap saja zat adiktif ini berdampak pada tubuh. Nikotin adalah perangsang kardiovaskular dan bisa memperburuk kondisi mereka yang memang sudah memiliki masalah dengan jantung.
Hingga sekarang belum diketahui secara pasti apakah nikotin bisa menyebabkan masalah jantung buat mereka yang tidak mempunyai sejarah penyakit tersebut. Tapi banyak bukti kalau rokok bisa berdampak pada peredaran darah dan meningkatkan risiko serangan jantung.
Nikotin juga bisa berdampak pada kesehatan reproduksi. Paparan nikotin selama kehamilan -bagaimanapun caranya, membahayakan janin dan menyebabkan bayi lahir dengan berat badan di bawah normal. Sementara anak-anak yang mengisap rokok elektronik rentan mengalami masalah pernapasan.
Zat kimi lainnya juga berbahaya buat tubuh, yakni propylene glycol yang bisa menyebabkan iritasi pada mata dan saluran udara. Risiko lainnya adalah baterai litium pada rokok elektrik yang bisa meledak saat diisap.
Dengan segala risiko tersebut, Glantz mengatakan rokok elektronik dinilai “lebih aman” dari rokok konvensional karena kadar nikotin dan zat berbahaya lain yang diisap tak sebanyak rokok tembakau. Selain itu, rokok elektronik juga baru digunakan selama satu dekade ini, sehingga belum ada penelitian soal dampak jangka panjang pada orang yang mengisapnya selama 30-40 tahun. Para ilmuwan harus meneliti lebih jauh lagi soal dampak rokok elektronik ini untuk mendapatkan hasil yang lebih sahih.
source tempo.co
pic by google